Cakra manggilingan adalah filosofi atau keyakinan berputarnya roda kehidupan baik mikrokosmos maupun makrokosmos. Secara bahasa berasal dari ka   ta cakra yaitu lingkaran, roda dan manggilingan yaitu berputar, menggelinding. Bentuk melingkar cakra manggilingan itu membentuk keseimbangan dalam setiap lintasan perputarannya.  Kehidupan alam fisik maupun alam sosial selalu silih berganti seperti  roda kehidupan, ibarat pergantian terjadinya siang dan malam. Kondisi  tersebut merupakan daur alamiah untuk menciptakan keseimbangan tata  surya kehidupan jagad raya. Kodrat yang Maha Kuasa berganti bagaikan cakra manggilingan.  Diatas prinsip penciptaan berkepasangan itulah Tuhan Yang Maha Esa  menjadikan keadilan dan keseimbangan. Hidup ini ada gelap terang, tinggi  rendah, tua muda, integrasi diferensiasi, yang semua itu digulirkan  oleh Tuhan sesuai dengan kapasitas waktu yang ditetapkannya. Setelah  mencapai jaman keemasan atau kertayoga akhirnya mengalami masa  keruntuhan atau kaliyoga. Itulah kehidupan yang selalu berubah dan  berputar mejalankan hukum kekuasaannya.    
Kearifan  Universal Nusantara dalam memandang daur kosmologi alam semesta juga  disampaikan oleh para filosof dunia masa lalu maupun masa modern ini.  Irama berulang dalam pertumbuhan budaya terkait dengan proses fluktuasi  yang telah diamati selama berabad-abad dan menjadi bagian dari dinamika  pokok alam semesta. Filsuf Cina yakin bahwa manifestasi realitas  dihasilkan oleh dinamika yang saling mempengaruhi antara dua kutub  kekuatan yaitu yin dan yang, Heraclitus dari Yunani Kuno membandingkan  tatanan dunia seperti api abadi yang menyala dalam    ukuran tertentu dan  padam dalam ukuran tertentu, Empedocles menghubungkan  perubahan-perubahan di alam semesta dengan pasang surutnya âcinta dan  benciâ. Begitu juga dengan para pemikir modern seperti Saint Simon  melihat sejarah peradaban sebagai rangkaian pertukaran periode-periode  organic dan kritis, sementara Herbert Spencer memandang alam semesta  bergerak melalui suatu rangkaian integrasi dan diferensiasi dan Hegel  memperhatikan sejarah manusia sebagai suatu perkembangan spiral dari  suatu bentuk kesatuan melalui fase perpecahan menuju arah reintegrasi  pada tataran yang lebih tinggi.  
Dari  disiplin filsafati tersebut sangat relevan untuk dijadikan rujukan  dalam melihat fenomena kehidupan dunia hari ini. Ibarat seperti kondisi  malam yang gelap gulita memberikan pesan seolah kehidupan dunia dan  Nusantara khususnya hari ini sedang menjalani fase keterpurukan  multidimensi. Perilaku kehidupan manusia sedang berada dalam kondisi  titik nadir paling bawah dalam lintasan cakra manggilingan kehidupan alam semesta. Tuhan sedang mengkutuk peradaban dunia dengan  kegelapan dan kezaliman disebabkan oleh tingkah laku manusia yang  melampui batas-batas ketettapannya. 
Krisis Multidimensi Lintas Benua 
Dunia  sedang mengalami gejala kerusakan alam dan sosial maha dahsyat pada  millennium abad 21 ini. Amerika sedang marak terjadi penembakan masal di  negaranya, Eropa sedang mengalami resesi ekonomi makro yang luar biasa,  Afrika masih berkutat dengan kemiskinan dan kelaparan, Australia sering  mengalami bencana alam, sementara di Asia masih sering terjadi gejolak  perang untuk mempertahankan eksistensi penjajahan atas nama  perekonomian. Fritjof Capra, The Turning Point (2007) menyatakan bahwa pada awal dua dasawarsa terakhir abad ke dua  puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang  serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya  menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian,  kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi teknologi, dan politik.  Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi intelektual, moral spiritual,  suatu    krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah  umat manusia. 
Indokator-indikator  tersebut juga sangat jelas terlihat di Nusantara. Nusantara sebagai  bagian strategis dari silang dunia memperoleh dampak signifikan terhadap  kerusakan morallitas peradaban dunia tersebut. Bangsa Indonesia telah  mengalami dekadensi spiritual yang besar sehingga menjadikan kehidupan  sosial penuh dengan kezaliman dan kemunafikan. Krisis kepemimpinan dan  krisis sosial budaya tampak dalam setiap perilaku kehidupan bangsa ini  y   ang anarkis dan tidak toleran. Kondisi permasalahan tersebut sangat  relevan dalam tatanan kearifan lokal masyarakat Jawa yang menyatakan  bahwa semua kejadian yang melanda bangsa ini sebagai penggenapan dari  ramalan Ronggowarsito Serat Kalatidha dalam tembang Sinom bait 7 âAmenangi  jaman edan, ewuh aya ing pambudi, milu edan nora tahan, yen tan milu  anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah kasra  Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspadaâ.  Artinya hidup di dalam zaman edan, memang repot, akan mengikuti tidak  sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya zaman, tidak mendapat  apapun juga, akhirnya kelaparan, tapi sudah menjadi kehendak Tuhan,  bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia tapi masih lebih  bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada. 
Faktor Utama Permasalahan Dunia  
Permasalahan  kehidupan tersebut menjadi realitas yang harus dihadapi semua orang  yang terlibat di kesatuan wilayah Nusantara. Upaya untuk menyelesaikan  dan menanggapi persoalan tersebut dengan cara menguraikan factor utama  yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi. Beberapa evaluasi dan  identifikasi sumber masalah utama adalah merosotnya nilai-nilai luhur  spiritualitas anak bangsa dalam menjalankan kehidupannya. Putra-putri  bangsa lebih mengedepankan kemampuan intelektual daripada spiritualnya.  Penyakit ini dinamakan penyakit Cyber yang hanya mengedepankan kemampuan  rasional sehingga menjadikan pikiran manusia modern berubah menjadi  pikiran mekanis dan digital, sering disebut HIV Human Intelligence Virus dan AIDS Acquired Intelligence Deficiency syndrome di dunia inteligensi pikiran. Inteligensi manusia bisa lenyap karena virus itu, sehingga Human Intelligence-nya mati dan diganti Artificial Intelligence, Rational    Intelligence, atau Digital Intelligence (Nataatmadja,2003). 
Secara  lebih global, hal ini dipengaruhi oleh rendahnya kecerdasan spiritual  manusia modern yang sedang terjangkit penyakit spiritual dengan segala  variasinya seperti spiritual crisis menurut Fritjof Capra, penyakit jiwa atau soul pain menurut Michael Kearney, penyakit eksistensial Carl Gustav Jung, darurat spiritual atau spiritual emergency menurut Cristina dan Stanislav Grof, patologi spiritual, alienasi spiritual maupun pen   yakit spiritual. 
Titik Balik Peradaban Nusantara 
Kearifan cakra manggilingan memberikan tanda bahwa segala sesuatu itu berputar. Ada siang dan ada  malam, setelah hari ini malam besok harinya pasti siang. Kondisi  kegelapan dunia yang terjadi hari ini menjadi peluang bagi manusia untuk  memperbaikinya. Setiap manusia harus menyesuaikan diri dengan ritme  perputaran alam semesta agar memperoleh perubahan menuju sinar terang  matahari dunia. Ibarat sebuah waktu hari dimana waktu siang 12 jam dan  waktu malam 12 jam, maka umur setiap peradaban juga mempunyai rentang  waktu akan tegak dan runtuhnya. Menurut tradisi Tuhan, bahwa tiap-tiap  umat ada batas waktunya, sebagaimana terjadi pada umat Nabi Musa, Isa,  dan Muhammad yang masing-masing memiliki batas eksistensinya. Ada  kelahiran dan kematian atau ada kebangkitan dan kehancuran. Jika  dipetakan m   enurut kalender masehi yaitu semenjak kelahiran umat pimpinan  Muhammad pada tahun 624 masehi, ditambah 700 tahun masa kejayaan sampai  tradisi kehancurannya pada tahun 1324 masehi, dan ditambah lagi waktu  tradisinya 700 tahun, maka menurut tradisi Tuhan umat pilihan akan  dibangkitkan kembali pada awal abad ke 21 masehi atau tahun 2024 masehi. 
Hal  ini didukung oleh penemuan Professor James H.L Lawler (1990) dari  Nexial Institue telah menemukan siklus 700 tahun terhadap bangkit dan  runtuhnya peradaban kerajaan monolitik maupun fragmentary pada masa lalu  yang didokumentasikan lebih dari 150 kerajaan be   sar di dunia. Hal  senada diungkapkan oleh Manteb Sudarsono (2010) menyitir ramalan  pujangga besar Ronggowarsito yang mengategorikan masa-masa sekarang ini  adalah apa yang disebut sebagai kala bendu. Kala bendu itu akan berakhir ketika pandawa mulat sirnaning temanten yaitu sebuah sengkalan atau sandi tahun yang kalau diterjemahkan  menjadi tahun 2025. Tuhan akan memberikan rahmat yang luar biasa bagi  mereka yang mengetahui, realisasi janji-Nya mengenai era kebangkitan,  bangsa Indonesia ternyata diberi peluang pertama diantara kaum yang  lain, dan tanda-tanda siksa yang teramat mengerikan itu sudah terbayang  dalam suasana krisis dewasa ini (Nataatmadja,2006).  
Futurology tersebut menurut Ronggowarsito dalam serat Joko Lodang dinyatakan ing weca kang wus pinesthi, estinen murih kelakon yang artinya di dalam ramalan atau fakta potensial yang sudah  ditentukan haruslah diusahakan dan diperjuangkan supaya segera dapat  terjadi atau fakta konkret (Purwadi, 2004). Dalam Bahasa Ir Soekarno  pada saat lahirnya Pancasila mengatakan âtidak  ada satoe Weltanchauung dapat mendjadi kenjataan, menjadi realiteit,  djika tidak dengan perdjoeangan! Zonder perdjoeangan itu tidaklah ia  akan mendjadi realiteitâ. Semua teori dan futurology masa depan  tersebut harus diperjuangkan dalam bentuk konrkrit karya-karya nyata  sehingga apa yang menjadi cita-cita dapat tercapai. Memaknai dari proses  daur kosmologi alam semesta tersebut, bahwa kehidupan sosial dan  pe   radaban manusia saling berputar dan silih berganti antara peradaban  baik dan buruk maka terdapat sebuah potensial bagi Nusantara untuk  bangkit dari keterpurukan. Nusantara sebagai bangsa strategis dan  mempunyai peran vital bagi dunia mempunyai kesempatan besar untuk  mengikuti laju perputaran kehidupan untuk mencapai kesejahteraan  sebagaimana yang menjadi cita-cita bangsa dalam pembukaan UUD 1945.  Semua putra-putri Nusantara harus sadar dan bangun dari ketertidurannya  sehingga mampu menjadikan bangsa ini bangkit serta menjadi bangsa  teladan bagi dunia lainnya. 
Transformasi Budaya Pancasila Untuk Dunia 
Dalam usaha untuk memperbaiki keadaan alam sosial ini dibutuhkan orang-orang yang memahami ilmu cakra manggilingan untuk mengendalikan perubahan tersebut. Pengendali cakra manggilingan disebut cakraningrat dalam bahasa Jawa d   an cakravartin dalam bahasa Sriwijaya. Wahyu Cakraningrat adalah wahyu atau ilmu âwijining ratuâ,  wahyu pewaris raja sebagai lambang derajat kekuasaan yang dipercaya  mampu memegang kendali kepemimpinan. Sementara itu makna dari cakravartin adalah supremasi moral dan religious legitimasi para penguasa semesta  atau raja diantara para raja yang memerintah di pusat mandala Sriwijaya.  Sosok cakravartin adalah sosok penguasa universal, raja tertinggi diantara manusia. Makna literal dari cakravartin adalah âpemutar rodaâ yang merujuk pada roda keberuntungan yang menaikkan atau menurunkan keberuntungan manusia. Ilmu cakraningrat atau cakravartin perputaran roda zaman ini dapat dipelajari dari nilai-nilai luhur Nusantara dan dunia pada umumnya. 
Arnold  Toynbee dalam A Study of History (1972) melihat pola dasar dalam  terjadinya peradaban sebagai suatu pola interaksi âtantanganâ dari  lingkungan alam dan sosial yang memancing âtanggapanâ kreatif dalam  suatu masyarakat, kelompok sosial, yang mendorong masyarakat itu  memasuki proses peradaban dengan mengalami suatu transisi dari kondisi  statis ke aktivitas dinamis. Hukum alam Tuhan memang mengatakan sebuah  kondisi tak stabil akan membuat âpergerakanâ untuk menuju ke-stabilan  Hukum Newton. Fritjof Capra (2007) menyatakan bahwa sebuah peradaban  cenderung kehilangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh setelah  mencapai puncak vitalitasnya, hal ini disebabkan oleh hilangn   ya  fleksibilitas. Hilangnya fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami  disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada  elemen-elemennya sehingga mengarah pada meletusnya perpecahan dan  kekacauan sosial. Sementara peradaban-peradaban minoritas kreatif yang  sedang berkembang menunjukkan keberagaman dan kepandaiannya yang tidak  pernah berhenti dalam melanjutkan proses tantangan dan tanggapan itu.  Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut tetapi dalam  kondisi-kondisi baru dengan tokoh-tokoh yang baru pula. Kondisi tersebut  sangat mirip dengan kondisi Nusantara ini sehingga upaya-upaya solusi  berbasis budaya harus segera dilakukan untuk menyambut masa transisi  peradaban tersebut. 
Transformasi  dan evolusi pembudayaan Pancasila di Nusantara menjadi solusi titik  balik peradaban ini. Pembudayaan Pancasila dapat dilakukan dengan  metodologi interpretasi, internalisasi dan aktualisasi. Interpretasi  Pancasila adalah mentafsirkan dan menguraikan kembali makna sila-sila  Pancasila dengan berlandaskan kajian keilmuan yang ilmiah dan alamiah  bersifat universal. Interpretasi digunakan untuk meyakinkan orang lain  dan mendorong orang lain untuk merubah cara berpikir dan tingkah laku  mereka berdasarkan Pancasila. Internalisasi Pancasila dilakukan dengan  penghayatan, pengendapan kesadaran dan penyatuan nilai-nilai dalam sila  Pancasila untuk menjadi kepribadian akhlak (karakter sejati) manusia  Nusantara. Aktualisasi Pancasila dengan mengamalkan segala nilai-nilai  Pancasil   a yang telah diperoleh dari proses interpretasi dan  internalisasi dalam bentuk aksi-aksi nyata bidang kegiatan budaya,  sosial, dan ilmiah. Nusantara harus kembali melakukan interpretasi,  internalisasi, dan aktualisasi sila-sila Pancasila yang terdiri atas  dasar prinsip Ketuhanan, prinsip kemanusiaan, prinsip persatuan, prinsip  kerakyaatan dan prinsip keadilan. Diatas lima prinsip universal itulah  bangsa Nusantara akan mengalami titik balik peradaban dunia, merubah  kondisi keterpurukan bangsa menjadi bangsa percontohan yang âgemah ripah loh jinawi toto titi tentrem kerto raharjo dadi kiblating dunyaâ. 
Kunci  sukses dalam setiap perjuangan adalah keyakinan dan aplikasi perbuatan.  Kesatuan antara pemikiran, perkataan dan perbuatan menjadi harga mati  dalam setiap usaha meraih asa. Dalam terminology pohon diibaratkan  kesatuan antara akar, batang dan buah. Putra-putri Nusantara harus  memiliki power of the will atau icha shakti yaitu tekad bulat untuk mengubah kondisi bangsa, memiliki power of knowingness atau gyaana shakti dengan mengembangkan keahlian, pengetahuan yang diperlukan untuk daya  tahan dan bekerja keras dalam menuntut ilmu, dan terakhir harus  mempunyai power of action atau kriya shakti yaitu melaksanakan  dengan berkarya setiap saat, dengan ilmu dan kesungguhan dan penuh  keceriaan. Dengan dasar tersebut, sangat berpeluang bagi Nusantara untuk  kembali bangkit dalam titik balik peradaban untuk kembali menjadi pusat  peradaban dunia   , Nusantara menjadi mercusuar dunia. 
editor : Heru Mulyanto

 
 0 Comments With Blogger
0 Comments With Blogger



 
 
 
 
